Pemeriksaan Laboratorium Pada Penyakit Rematik

Gambaran klinis penyakit rematik sangat luas. Terkadang menyerupai penyakit sistemik lainnya. Untuk menegakkan diagnosis, kadang kala klinisi membutuhkan pemeriksaan laboratorium yang sangat spesifik untuk membuat suatu diagnosis dan tata laksana yang tepat. Namun dalam interpretasi hasil laboratorium ini sangat penting harus dicocokkan dengan kondisi klinis. Banyak kasus didiagnosa karena hasil laboratorium yang false positive. Pemeriksaan laboratorium hanya digunakan untuk membedakan penyakit satu dengan lainnya. Bila secara klinis sudah jelas, maka pemeriksaan laboratorium tidak terlalu dibutuhkan, karena tidak menambah ketepatan diagnostic klinis. Misalnya pasien SLE jelas secara klinis tidak membutuhkan tes ANA untuk membuktikan bahwa ini pasien SLE, tetapi memerlukan evaluasi antibodi yang lainnya atau dsDNA hanya untuk mengkonfirmasi aktivitas penyakit.

 

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang sering digunakan pada evaluasi penyakit rematik adalah pemeriksaan darah lengkap, LED, CRP, fungsi hati, fungsi liver, urinalisis, dan pemeriksaan serologi, untuk membutktikan adanya proses autoimun, tetapi hal ini tidak mutlak harus positif karena etnisnya berbeda-beda. Bila klinisi terlalu berpegangan pada hasil laboratorium dapat menimbulkan ketidaktepatan diagnostic.

 

Pemeriksaan Darah Lengkap

Pada pemeriksaan darah lengkap ini yang dilihat adalah kadar Hb, jumlah lekosit, jumlah trombosit, hematocrit, jumlah PMN, jumlah retikulosit.

Kadar Hb menunjukkan adanya anemia. Pada umumnya didapatkan pada penyakit-penyakit kronik atau gastrointestinal bleeding oleh karena pemakaian NSAID dalam jangka yang panjang. Gambaran hapusan darah pada penyakit rematik adalah normochromic normositer, yang merupakan gambaran anemia pada penyakit kronik, AIHA dijumpai 10% biasanya pada kasus SLE.

Jumlah lekosit. Pada kasus-kasus inflamasi seringkali ditemukan lekositosis, namun belum tentu suatu petanda infeksi, karena lekositosis merupakan respon inflamasi. Untuk menentukan adanya infeksi atau non infeksi pada kasus lekositosis, maka harus dilihat jumlah PMNnya. PMN lebih dari 75% kemungkinan suatu petanda infeksi, namun hal ini harus dicocokkan dengan gejala klinisnya. Bila ragu-ragu maka dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan prokalsitonin, kultur darah, urin atau cairan sinovia. Pada penyakit sistemik autoimun, kadang dijumpai lekopenia tanpa disertai penurunan Hb ataupun trombosit. Adanya lekopenia pada penyakit sistemik autoimun menunjukkan penyakit yang aktif, meskipun secara klinis pasien dalam kondisi baik. Bila ada lekopenia, maka kita harus hati-hati apakah lekopenia oleh karena terkait dengan penyakit atau karena pengaruh obat-obatan, maka harus dievaluasi secara detail.

Jumlah limfosit. Jumlah limfosit menurun biasanya ditemukan pada penyaki sistemik autoimun. Limfosit ini menurun seiring dengan aktivitas penyakit. Pada fase aktif biasanya ditandai dengan limfoni. Pada penyakit rematik lain biasanya kadar limfosit tidak terpengaruh.

Jumlah trombosit. Pada kasus inflamasi jumlah trombosit meningkat, karena rangsangan sitokin pada system hematopoetic meningkatkan pembentukan lekositm dan trombosit. Trombositosis juga merupakan respon dari anemia kronik. Pada kasus trobopenia pada penyakit rematik, dijumpai pada SLE dan spondiloartritis, kadang gejala trombopenia dan demam seringkali dianggap sebagai infeksi virus karena gelalanya seperti flu like syndrome. Pada penderita arthritis inflamasi kadang disertai gejala demam atau flu like syndrome. Oleh karena itu harus dilihat tanda-tanda lainnya sebelum memutuskan suatu diagnostic yaitu kondisi klinis dan laboratorium.

Hematocrit. Menurun pada kasus-kasus dehidrasi. Pada umumnya ditemukan pada pasien akut arthritis karena adanya penurunan nafsu makan sehingga menimbulkan dehidrasi. Hematocrit tidak spesifik untuk mengevaluasi penyakit rematik.

Jumlah retikulosit. Meningkat pada kasus-kasus hemolitik atau perdarahan kronik dan tidak spesifik untuk penyakit rematik.

 

Akut Fase protein

Suatu protein yang terkait dengan inflamasi, kadarnya meningkat sekitar 25% pada saat inflamasi. Protein yang termasuk dalam akut fase protein adalah seruloplasmin, komplemen, CRP, LED, amiloid A, fibrinogen, alpha-1 anti-tripsin, haptoglobin, feritin, atau penurunan albumin, transerin, transthhiretin. Protein-protein tersebut disintesa diliver oleh karena rangsangan IL-6. Gambaran klinik akibat adanya akut fase protein ini adalah demam, pelepasan kortisol, kelelahan, anemia, kakexia, amiloidosis, gangguan pertumbuhan, shock septic.

 

Laju Endap Darah

Laju endap darah (LED) meningkat merupakan respon inflamasi akut. LED dipengaruhi oleh protein-protein plasma fibrinogen. Peningkatan LED dijumpai pada kasus-kasus high grade inflamasi antara lain, SLE, RA, scleroderma, atau akut arthritis. LED ini merupakan pemeriksaan non spesifik karena LED ini secara tidak langsung mengukur konsentrasi eritrosit. LED juga meningkat pada kasus obesitas, usia manula dan wanita. Untuk mengevaluasi kadar normal LED dapat digunakan rumus berikut ini: pada laki-laki = umur / 2, pada wanita = umur + 10 / 2.

Klinisi yang berpengalaman sangat bijak mengevaluasi atau mengintepretasi LED. Bila kadar LED secara dramatis meningkat, maka harus dipikirkan adanya infeksi atau pemakaian kortikosteroid.

 

CRP

C-reactive protein (CRP) disintesa pada hati dan meningkat pada respon fase akut. Fungsi dari CRP ini juga tidak diketahui. diduga sebagai pro inflamatori dengan mengaktivasi protein. Untuk interpretasi CRP perlu tahu nilai normal dari laboratorium, meningkat pada kasus-kasus inflamasi ataupun infeksi. untuk menghitung secara akurat kadar CRP adalah sebagai berikut: wanita = umur / 65 + 0,7mg/dL, laki-laki = umur / 65 + 0,1 mg/dL.

 

Pada SLE aktif meskipun LED meningkat namun tidak diikuti dengan peningkatan kadar CRP. Peningkatan CRP pada SLE biasanya oleh karena infeksi, namun tidak mutlak. Pada SLE aktif kadang disertai peningkatan CRP yang menyerupai infeksi. LED dan CRP suatu pemeriksaan non spesifik dan tidak sensitif. Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menilai adanya inflamasi. Pada kasus-kasus tertentu digunakan untuk monitor terapi. Pada laporan studi menyatakan bahwa 10% pasien RA dengan aktivitas moderat didapatkan LED yang normal.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *